Senin, 31 Mei 2010

RI Dilamar Jadi Mediator Konflin Palestina-Israel?

INILAH.COM, Jakarta - Sejak Susilo Bambang Yudhoyono menjadi presiden, Presiden Palestina Mahmoud Abbas sudah dua kali menemuinya di Jakarta. RI dilamar jadi mediator konflik di jalur Gaza?

Kunjungan pertama Oktober 2007 dan yang terbaru terjadi akhir Mei 2010 baru-baru ini. Nampaknya Mahmoud Abbas melanjutkan misi yang sudah dirintis pendahulunya, mendiang Yasser Arafat, pendiri PLO (Organisasi Pembebasan Rakyat Palestina). Yasser pada 1980-an, juga pernah berkunjung ke Indonesia dan bertemu dengan Presiden Soeharto.

Sejauh ini tidak ada penjelasan apa perbedaan kunjungan Abbas di 2007 dan 2010. Tetapi kalau boleh menebak, yang menjadi tujuan utama Presiden Abbas adalah meminta jasa baik Indonesia untuk menengahi konflik Palestina-Israel.

Sebab pada waktu yang hampir bersamaan atau sekitar sebulan sebelum kunjungan Presiden Palestina di 2010 ini, sebuah utusan khusus yang dikirim Perdana Menteri Palestina, Ismail Haniya, juga telah berkunjung ke Jakarta.

Sekalipun tidak diumumkan hasil lengkap kunjungan itu tetapi jelas tersirat pihak Palestina baik dari fraksi Fatah (Abas) dan fraksi Hamas (Haniyah) meminta bantuan dan jasa baik Indonesia.

Bagi Indonesia kedatangan tamu dari Palestina, merupakan hal yang penting. Yaitu Indonesia, di mata bangsa Palestina merupakan negara sahabat yang bisa mereka harapkan membantu perjuangannya. Yang menjadi cita-cita rakyat Palestina adalah mendirikan negara merdeka di tanah yang dipersengketakannya selama 60 tahun lebih dengan Israel.

Konflik Palestina-Israel sudah berlangsung lebih dari setengah abad. Penyelesaiannya telah dicoba ditengahi oleh berbagai kalangan. Tapi tak satupun yang berhasil. Konflik ini dicoba diselesaikan lewat peran negara-negara Arab, Organisasi Konferensi Islam (OKI) ataupun mereka yang berada di kawasan Timur Tengah.

Tetapi hasilnya tetap nihil. Selain itu PBB dan negara-negara yang mempunyai hak veto juga turut dilibatkan. Seperti AS, Inggris, Prancis, Uni Sovyet atau Rusia. Hasilnya juga nihil.

Indonesia mulai dilirik atau diperhitungkan bukan hanya oleh Palestina tetapi juga oleh Israel. Pada Oktober 1992, PM Israel Yitzhak Rabin pernah menemui Presiden Soeharto di Jl Cendana Jakarta. Tujuannya meminta jasa baik Indonesia sebagai pemimpin Gerakan Non Blok (GNB) untuk menjembatani konflik Palestina-Israel.

Pertemuan itu dikategorikan sebagai sebuah peristiwa kontroversial. Soalnya, selain Indonesia tidak mengakui eksistensi Israel sebagai sebuah negara, sehingga tidak mungkin terjadi pertemuan tete a tete (pertemuan dua kepala pemerintahan), kunjungan pemimpin Zionis di Indonesia sangat sensitif kalau tidak dikatakan tabu.

Soeharto dipilih karena kapasitasnya sebagai Ketua GNB periode 1992-1995. Tiga tahun kemudian, tepatnya Oktober 1995 di New York, AS, PM Yitzhak Rabin untuk tujuan yang sama kembali menemui Soeharto di tengah acara peringatan 50 tahun PBB.

Sayangnya setelah itu, tidak terdengar adanya kemajuan atau pencapaian, terutama setelah Yizthak Rabin, dibunuh seorang Yahudi fundamentalis. Pertanyaan sekarang pantas atau sanggupkah Indonesia menjadi jurudamai Palestina-Israel ?

Dari segi kepantasan, jelas Indonesia memenuhi persyaratan. Indonesia memenuhi unsur akseptabilitas. Palestina dan Israel, dua pihak yang bersengketa, dapat menerima peran mediasi Indonesia.

Sejarah menunjukkan negara yang menjadi penengah konflik Palestina-Israel selama ini terlalu dipaksakan. Ada yang tidak diterima dan dicurigai Palestina tetap saja ditunjuk penengah. Begitu pula sebaliknya.

Sebagai negara yang berhasil mendamaikan konflik Kampuchea (Indo China), perselisihan Manila dengan Front Pembebasan Moro di Filipina Selatan ditambah peran sebagai Panglima Pasukan Perdamaian PBB di Dataran Sinai, Indonesia cukup kredibel selaku jurudamai.

Yang menjadi kendala adalah konflik internal Palestina sangat tajam dan rumit. Palestina terbelah dua, Hamas yang menjadi Kepala Pemerintahan atau Perdana Menteri dan Fatah di satu pihak yang menjadi Kepala Negara (Presiden).

Hamas dan Fatah terlibat perang di wilayah Palestina. Ibukota Palestina pun terbelah. Hamas di jalur Gaza sementara Fatah di Tepi Barat (West Bank). Strategi Palestina juga tidak sama. Hamas sama sekali tidak mau berunding dan berjabat tangan dengan Israel, sementara Fatah lebih fleksibel.

Konflik internal Palestina antara Hamas dan Fatah cukup aneh. Sebab tidak kalah tajamnya ketimbang konflik langsung antara Palestina dan Israel. Oleh sebab itu selain Indonesia pantas menjadi jurudamai Palestina-Israel langkah pertama yang harus dilakukan adalah mendamaikan terlebih dahulu pihak Hamas dan Fatah.

Tanpa perdamaian kedua pihak, menjadi juru damai perundingan Palestina-Israel hanya akan menghabiskan waktu, enerji, dan biaya. Sesuatu yang harus masuk dalam kalkulasi semua pihak. [mdr]INILAH.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar