Jumat, 27 Maret 2009
Abdurrahman Wahid (4)
Nama: Abdurrahman Wahid
Lahir: Denanyar, Jombang, Jawa Timur, 4 Agustus 1940.
Orang Tua: Wahid Hasyim (ayah), Solechah (ibu).
Istri : Sinta Nuriyah
Anak-anak : Alisa Qotrunada Zannuba Arifah Anisa Hayatunufus Inayah Wulandari
Pendidikan :
• Pesantren Tambak Beras, Jombang (1959-1963)
• Departemen Studi Islam dan Arab Tingkat Tinggi, Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir (1964-1966)
• Fakultas Surat-surat Universitas Bagdad (1966-1970)
Karir
• Pengajar Pesantren Pengajar dan Dekan Universitas Hasyim Ashari Fakultas Ushuludin (sebuah cabang teologi menyangkut hukum dan filosofi)
• Ketua Balai Seni Jakarta (1983-1985)
• Penemu Pesantren Ciganjur (1984-sekarang)
• Ketua Umum Nahdatul Ulama (1984-1999)
• Ketua Forum Demokrasi (1990)
• Ketua Konferensi Agama dan Perdamaian Sedunia (1994)
• Anggota MPR (1999)
• Presiden Republik Indonesia (20 Oktober 1999-24 Juli 2001)
Penghargaan
• Penghargaan Magsaysay dari Pemerintah Filipina atas usahanya mengembangkan hubungan antar-agama di Indonesia (1993)
• Penghargaan Dakwah Islam dari pemerintah Mesir (1991)
KH Abdurrahman Wahid
King Maker Pemilu Presiden
Mantan Presiden RI ke-4 (20 Oktober 1999-24 Juli 2001), ini diperkirakan bakal menjadi King Maker Pemilihan Presiden Pemilu 2004. Kendati namanya masih masuk dalam nominasi calon presiden Pemilu 2004 dan mendapat dukungan dari beberapa kyai serta sebagai satu-satunya calon presiden dari PKB, namun diperkirakan ia tidak akan dicalonkan atau mencalonkan diri secara resmi.
Tokoh yang lebih dikenal dengan panggilan Gus Dur, diperkirakan akan sangat berpengaruh dalam menentukan koalisi pasangan calon presiden dan wakil presiden yang akan ramai selepas Pemilu Legislatif 5 April 2004. Apalagi Ketua Dewan Syuro Partai kebangkitan Bangsa (PKB), ini telah diberi pula mandat untuk memilih siapa penggantinya jika ia tidak mencalonkan diri oleh suatu sebab.
Pernyataan-pernyataannya selalu menarik dan sering kali mengundang kontroversi. Hal ini pula yang menjadi kekuatan sekaligus kelemahan tokoh yang dikenal pembela kebenaran ini.
Bahkan saat ia menjabat presiden, belum satu bulan, mantan Ketua Umum Nahdlatul Ulama (1984-1999) ini sudah mencetuskan pendapat yang memerahkan kuping sebagian besar anggota DPR. Di hadapan sidang lembaga legislatif, yang anggotanya segaligus sebagai anggota MPR, yang baru saja memilihnya itu, Gus Dur menyebut para anggota legislatif itu seperti anak Taman Kanak-Kanak. Tak lama kemudian, ia pun menyatakan akan membuka hubungan dagang dengan Israel, negara yang dibenci banyak orang di Indonesia. Pernyataan ini mengundang reaksi keras dari beberapa komponen Islam.
Berselang beberapa waktu, ia pun memecat beberapa anggota Kabinet Persatuannya, termasuk Hamzah Haz (Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan). Tindakan penggantian menteri ini berpuncak pada penggantian Laksamana Sukardi (PDIP-pemenang Pemilu 1999) dari Jabatan Meneg BUMN dan Jusuf Kalla (Golkar-pemenang kedua Pemilu 1999) dari jabatan Menperindag, tanpa sepengetahu-an Wapres Megawati dan Ketua DPP Golkar Akbar Tandjung.
Lalu terkuaklah kasus Buloggate dan Bruneigate. Gus Dur diduga terlibat. Kasus ini membuahkan memorandum DPR. Setelah Memorandum II tak digubris Gus Dur, akhirnya DPR meminta MPR agar menggelar Sidang Istimewa (SI) untuk meminta pertanggungjawaban presiden. Gus Dur, akhirnya kehilangan jabatannya sebagai presiden keempat setelah ia menolak memberikan pertanggung-jawaban dalam SI MPR itu dan bahkan mengeluarkan dekrit, antara lain berisi pembubaran MPR. Akhirnya MPR mengangkat Wapres Megawati menjadi presiden pada 24 Juli 2001.
Gus Dur dilahirkan 4 Agustus 1940 di Denanyar, Jombang, Jawa Timur, keluarga Muslim berpengaruh di Indonesia. Ayahnya, Wahid Hasyim, adalah mantan Menteri Agama pada 1945. Kakeknya, Hasyim Ashari, adalah satu dari pemimpin Muslim terbesar pada pergantian abad 2000 lalu. Gus Dur mengikuti tradisi keluarga dengan belajar di banyak pesantren. Nama Gus Dur diambil dari tradisi di daerahnya, dimana penduduk setempat menyebut seorang putra dari keluarga elit dengan sebutan ‘Gus’.
Ia juga sempat mempelajari sastra dan ilmu sosial di Fakultas Sastra Universitas Baghdad, Irak. Hari-hari kuliahnya bersamaan dengan timbulnya kekuasaan partai Baath, partai sosialisnya Saddam Hussein, yang menarik banyak pengikut. Dengan latar belakang ini, ia juga sempat digosipkan sebagai ‘sosok berbau kiri’ pada masa Orba.
Dari Baghdad, ia kembali ke Indonesia 1974 dan mulai berkarir sebagai ‘cendekiawan’ dengan menulis sejumlah kolom di berbagai media massa nasional. Pada akhir dasawarsa 70-an, suami dari Sinta Nuriyah, ini sudah berhasil mengukuhkan diri sebagai satu dari banyak cendekiawan Indonesia yang paling terkenal dan laris pula sebagai pembicara publik.
Nama Gus Dur makin mencuat setelah terpilih sebagai ketua umum PBNU, dalam Muktamar NU di Situbondo tahun 1984. Saat itu hubungan NU dengan pemerintah sedang mesra-mesranya. Kendati dalam perjalanan selanjutnya, Gus Dur tak selalu berkompromi dengan pemerintah. Misalnya, ketika pemerintah berencana mendirikan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) di Muria, Gus Dur menentangnya. Demikian pula ketika Habibie mendirikan ICMI, Gus Dur mengadakan perlawanan dengan mendirikan Forum Demokrasi.
Salah satu kiprah Gus Dur yang paling menonjol saat memimpin NU, adalah ketika ia membawa organisasi itu kembali ke khittahnya, keluar dari politik praktis pada 1984. Setelah tidak lagi menjabat presiden, Gus Dur kembali ke kehidupannya semula. Kendati sudah menjadi partisan, dalam kapasitasnya sebagai deklarator dan Ketua Dewan Syuro PKB, ia berupaya kembali muncul sebagai Bapak Bangsa. Seperti sosoknya sebelum menjabat presiden.
Sebelumnya, Gus Dur adalah Ketua Umum Nahdlatul Ulama (NU), organisasi Islam terbesar di Indonesia dengan anggota sekitar 38 juta orang. Namun ia bukanlah orang yang sektarian. Ia seorang negarawan. Tak jarang ia menentang siapa saja bahkan massa pendukungnya sendiri dalam menyatakan suatu kebenaran. Ia seorang tokoh muslim yang berjiwa kebangsaan.
Gus Dur sering berbicara keras menentang politik keagamaan sektarian. Pendiriannya sering menempatkannya pada posisi sulit, melawan pemimpin Islam lainnya di Indonesia. Seperti saat didirikannya Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI), yang diketuai BJ Habibie, Gus Dur secara terbuka menentang. Ia menyebut ICMI akan menimbulkan masalah bangsa di kemudian hari, yang dalam tempo kurang dari sepuluh tahun ternyata pernyataannya itu bisa dibuktikan benar atau tidak. Lalu, ia mendirikan Forum Demokrasi sebagai penyeimbang ICMI.
Meski diakui ia besar antara lain karena NU, visi politiknya diyakini rekan-rekan dekatnya, melebihi kepentingan organisasi tersebut, bahkan kadang melampaui kepentingan Indonesia. Hal ini tercermin dari kesediaannya menerima kedudukan di Shimon Peres Peace Center dan saat dia mengusulkan membuka hubungan dengan Israel.
Di masa Orba, saat Soeharto berkuasa, Gus Dur dikenal sebagai salah seorang tokoh yang licin untuk dikuasai. Bahkan ia dapat memanfaatkan Keluarga Cendana dengan mengajak Mbak Tutut berkeliling pondok-pondok pesantren. Gus Dur juga beberapa kali mengunjungi Pak Harto setelah lengser.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar